Thursday 6 July 2017

Perang Melawan ISIS dan Terorisme

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : http://news.liputan6.com/read/3004571/perang-melawan-isis-dan-terorisme?source=search

Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini dunia dikejutkan oleh serangan teror ganas di Iran yang menewaskan dan melukai puluhan orang (kabarnya 22 orang tewas dan lebih dari 50 orang luka-luka).

Ini adalah serangan teror mematikan pertama yang dilakukan ISIS (Islamic State of Syria and Iraq) di negeri Para Mullah itu.


Selama ini, milisi ISIS mengklaim hanya melakukan berbagai serangan terorisme (baik dengan senapan maupun bom bunuh diri) di Irak, Suriah, Pakistan, Afganistan, Arab Saudi, Yaman, Mesir, Lebanon, Turki, dan sejumlah negara Eropa.

Mereka belum pernah melakukan aksi terornya di Iran. Baru pada 7 Juni lalu mereka beraksi di negeri yang dulu bernama Persi ini.

Ada dua tim yang melakukan serangan teror tersebut. Tim pertama, terdiri dari 5 orang, menyerang Parlemen Iran (dengan menembakkan senapan).

Sedangkan tim kedua, terdiri dari 2 orang, meledakkan diri mereka di kompleks pusara Ayatullah Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran.

Baik Parlemen maupun pusara Imam Khomeini ini, merupakan simbol politik-kultural- agama yang sangat penting bagi Iran.

Banyak spekulasi dan analisis yang bermunculan tentang serangan teror ini. Iran menuduh Saudi di balik aksi terorisme ini, tuduhan yang kemudian dibantah oleh pihak Saudi.

Beberapa saat setelah tragedi ini, ISIS mengklaim sebagai pelakunya. Menurut mereka, aksi ini sebagai "peringatan keras" kepada Iran yang selama ini mem-back-up milisi Syiah di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman, serta menjadi sponsor beberapa faksi radikal Syiah di sejumah negara yang dikontrol Sunni seperti Bahrain, Saudi, atau Qatar.

Ada juga yang menilai serangan ISIS ke Iran ini sebagai "aksi balas dendam" atas terdesaknya milisi ISIS di sejumlah kawasan di Irak dan Suriah.

Menariknya, menurut pihak otoritas Iran, empat dari lima pelaku serangan yang tertangkap dan kini dijadikan tersangka adalah warga negara Iran yang beretnis Kurdi, etnik terbesar ketiga di Iran setelah Persi dan Azerbaijan.

Menteri Urusan Intelijen Iran, Syed Mahmoud Alavi, menyatakan, mereka yang terlibat dalam aksi terorisme itu adalah anggota milisi ISIS di Irak.

Iran juga menangkap setidaknya 50 tersangka lain yang dicurigai terlibat di berbagai upaya terorisme di seantero Iran.

Pemerintah Iran, yang kini di bawah kepemimpinan Imam Khamenei dan Presiden Hassan Rouhani, memfokuskan pada kelompok etnik Kurdi yang mendiami kawasan Barat Iran seperti Kordistan, Kermanshah, Azerbaijan Barat dan Ilam. Oleh warga Kurdi, kawasan ini dikenal dengan sebutan Rojhalat.

Menurut Marc Martinez dari The Delma Institue, sebuah lembaga riset di Uni Emirat Arab, warga Kurdi di Iran masih menaruh dendam kesumat dengan Teheran, karena upaya mereka mendirikan negara otonom Kurdi bernama Republik Mahabad di Iran Utara (dulu didirikan oleh Qazi Mohamed yang berkoalisi dengan Uni Soviet) digagalkan oleh Iran dengan batuan Amerika Serikat.

Sejak itu mereka melakukan berbagai upaya politik untuk mendelegitimasi otoritas pemerintah dan menggoyang keamanan dalam negeri Iran.

Seperti negara-negara lain pada umumnya, Iran yang juga negara sangat majemuk dari segi etnis, bahasa, dan agama, juga memiliki segudang problem masalah sosial, politik, budaya, agama, etnisitas, dsb.

Maka, bergabungnya milisi Kurdi Iran dengan ISIS memiliki tujuan politik internal, yakni pendongkelan kekuasaan di Iran. Dengan bergabung ke ISIS, setidaknya milisi Kurdi bisa belajar strategi dan taktik "mengacaukan" dan menggulingkan kekuasaan.

Jika upaya makar ini gagal,  terorisme adalan jalan lain untuk mendestabilisasi politik serta mengganggu keamanan dan kenyamaan rezim.

Bergabungnya sejumlah warga Kurdi Iran ke ISIS di Irak ini merupakan ironi, mengingat warga Kurdi Irak justru berjuang dan berperang melawan milisi ISIS.

***
Kasus terorisme yang terjadi di Iran ini adalah peringatan keras bagi negara mana saja, termasuk Indonesia yang sangat rawan terhadap infiltrasi ideologi asing dan transnasional.

Beberapa kali kasus terorisme di Indonesia yang diklaim dilakukan oleh simpatisan ISIS, menunjukkan bahwa gema pengaruh organisasi teror kelas wahid ini tidak hanya berhenti di kawasan Arab, Timur Tengah, atau Afrika Utara, tetapi juga sudah ke berbagai belahan dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara.

Terbukti ISIS sekarang juga bercokol di Mindanao, Filipina selatan, hingga Presiden Rodrigo Duterte mendeklarasikan Darurat Militer untuk kawasan ini setelah terjadi serangan teroris mematikan di Kota Marawi, Provinsi Lanao del Sur, yang menyebabkan banyak kematian dan arus migrasi berskala besar warga setempat.

Perang antara tentara Filipina dan para milisi teroris-separatis- jihadis lokal yang didukung ISIS pun tidak bisa terhindari. Kelompok milisi ini dikenal dengan sebutan Maute, yang diambil dari nama duo bersuadara: Umar Maute dan Abdullah Maute.
Maute adalah gerombolan teroris, preman, kriminal, dan milisi yang sering berbuat ulah di kawasan Mindanao.

Konon pemicu aksi "tragedi Marawi" ini adalah gagalnya penangkapan Isnilon Totoni Hapilon, pemimpin gang Maute. Isnilon Hapilon adalah mantan pentolan Abu Sayyaf Group (ASG), ormas teroris yang dulu memiliki afiliasi dengan Al-Qaedah, yang berbasis di Jolo dan Basilan, Kepulauan Sulu.

Para milisi dan teroris ASG ini dikenal luas sebagai pengebom bunuh diri dan penculik orang-orang bule (warga Barat), untuk dijadikan sebagai sandera guna mendapatkan uang tebusan.
ASG juga berafiliasi dengan kelompok teroris Jamaah Islamiyah di Indonesia, yang melakukan serangkaian aksi pengeboman di Tanah Air (seperti kasus pengeboman Bali).
Kelompok didirikan oleh Abdurrajak Abu Bakar Janjalani, bekas milisi Mujahidin pada waktu terjadi perang antara Afganistan dan Uni Soviet sejak 1980-an.

Di sanalah ia bertemu dan kesengsem dengan pemimpin Mujahidin bernama Abdul Rasul Sayyaf, yang juga pendiri Islamic Union for the Liberation of Afghanistan.

Abdul Rasul Sayyaf kemudian menjadi mentor Abdurrajak Janjalani. Nah, nama "Abu Sayyaf Group" itu diambil dari nama Abdul Rasul Sayyaf ini.

Jika dulu ASG menjadi kaki-tangan Al-Qaedah, kini mereka menjadi pion-pion ISIS. Komandan Maute, Isnilon Hapilon, juga berikrar setia kepada ISIS dan pemimpinnya, Abu Bakar Al-Baghdadi.
Hal sama juga dilakukan oleh kelompok Islamis-teroris lain di Mindanao, seperti Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) dan Ansar Khalifah Philippines.
"Tragedi Marawi" ini mungkin adalah dampak dari gagalnya perundingan damai antara pemerintah dan Moro Islamic Liberation Front (MILF).

Seperti di Iran, ISIS juga memanfaatkan "kelompok sempalan" anti-pemerintah di Filipina untuk menggoyang kekuasaan.

Potensi yang sama sangat mungkin akan terjadi di Indonesia, di mana ISIS akan memanfaatkan kelompok-kelompok anti pemerintah, khususnya kelompok Islamis, untuk menciptakan destabilitas, kekacauan, dan ketidakamanan publik.

Sejauh ini sudah ada beberapa warga Indonesia yang menjadi milisi ISIS di Irak maupun Suriah seperti Salim Mubarak Attamimi, warga Pasuruan, Jawa Timur, yang mengklaim sebagai "Panglima ISIS Indonesia", yang tewas di Irak pada 2014.

Sebagian masyarakat Muslim Indonesia yang cenderung berpikiran konservatif dan berpenampilan "Islami", tetapi tidak mengetahui tentang seluk-beluk pluralitas wacana keislaman serta miskin wawasan geopolitik di Arab dan Timur Tengah, menjadi "sasaran empuk" wacana Islam ekstrem, yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok radikal Islamis, termasuk jaringan global terorisme (tak terkecuali ISIS).

Jika ingin Indonesia ke dapan menjadi negara yang aman, toleran, damai, dan sentosa, maka pemerintah, militer, polisi, akademisi, tokoh agama, dan masyarakat pada umumnya harus bersatu bahu-membahu melawan ideologi jihadisme, radikalisme, dan terorisme yang mengancam kenyamanan publik dan stabilitas nasional ini.

Militer, khususnya, harus mewaspadai "jalur laut" yang selama ini menjadi arus keluar-masuk kelompok radikal dan teroris dari dan ke Mindanao. Kerja sama militer antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei untuk menjaga wilayah laut dari kemungkinan pelarian milisi ISIS di Mindanao harus terus digalakkan.

Wilayah Kepulauan Filipina adalah perbatasan dengan teritori Indonesia (misalnya Sulawesi) dan selama ini memang dijadikan sebagai arus hilir-mudik kelompok militan-ekstremis.
Penggabungan pendekatan militer dan non-militer menjadi kunci untuk memangkas gerakan terorisme dan ideologi jihadisme.

Pengamat terorisme David Cortright dan George Lopez, dalam Uniting Against Terror: Cooperative Nonmilitary Responses to the Global Terrorist Attack, menjelaskan pentingnya menggabungkan dua pendekatan dan strategi dalam melawan terorisme. Yaitu "tactical counterterrorism" dan "strategic counterterrorism".

Strategi dan metode "tactical counterterrorism" fokus pada "pendekatan militer". Misalnya operasi memburu kantong-kantong dan sel-sel terorisme seperti yang selama ini dilakukan oleh pihak kepolisian dan Densus 88.

Sedangkan "strategic counterterrorism" menekankan pada pendekatan, taktik, dan strategi non-militer seperti mendesain berbagai kebijakan publik dan program yang dimaksudkan, untuk menghilangkan faktor-faktor dan akar-akar yang selama ini menjadi penyubur gerakan dan ideologi terorisme.
David Cortright and George Lopez menulis, "Due to the global nature of the terrorist threat, cooperative nonmilitary responses are necessary elements of counter-terrorism strategy."

Pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat perlu menjalin kerja sama yang efektif-sinergis-produktif, guna mendesain program-program kontra-terorisme, baik yang "tactical counterterrorism" maupun "strategic counterterrorism" (khususnya di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, keagamaan, dsb), guna menanggulangi radikalisme dan terorisme global dan domestik yang bisa menghancurkan sendi-sendi kenegaraan dan kebangsaan di Indonesia tercinta.

Friday 30 June 2017

Arab Tak Berarti Habib (19): Alawi Itu Bukan Syiah, Bukan Sunni

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158971398655523


Banyak kaum Muslim di Indonesia dan manca negara yang menganggap sekte Alawi di Suriah khususnya itu Syiah. Anggapan itu tidak benar. Atau, hanya "separuh benar" saja. Tidak benar benar benar.
Dari aspek teologi-keagamaan maupun sosial-kultural, Alawi berbeda dengan Syiah (juga Sunni). Dari aspek teologi, Alawi lebih dekat dengan Kristen karena sekte ini mengadopsi konsep "Trinitas" (Muhammad, Ali dan Salman al-Farisi). Dari aspek sosial-budaya, pengikut Alawi "lebih liberal" misalnya perempuan Alawi tidak berjilbab dan alkohol boleh dikonsumsi.
Persepsi bahwa Alawi itu bagian dari Syiah sebetulnya dibangun lantaran publik melihat hubungan dekat antara rezim Assad dan rezim Syiah Iran. Padahal, arus utama Syiah (yaitu Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah atau Syiah Imam Dua Belas) dalam sejarahnya tidak pernah mengakui sekte Alawi sebagai bagian dari Syiah.
Baru pada 1974, seorang klerik kharismatik Syiah Libanon, Musa Sadr, untuk pertama kalinya mau mengakui Alawi adalah bagian dari Syiah. Meski Imam Musa Sadr mengakuinya, publik Syiah (termasuk kalangan elit agama dan kaum terdidik) tidak mudah untuk menerima ke-Syiah-an Alawi.
Jangankan kepada pengikut sekte Alawi yang konsep teologi-budayanya sangat ekstrim, kepada pengikut sekte Zaidiyah (Zaidi) atau Ismailyah (Ismaili) yang tidak ekstrim-ekstrim amat saja, Syiah mainstream enggan mengakuinya secara tulus-ikhlas. Jika pengikut Syiah saja enggan mengakui Alawi sebagai "bagian integral" mereka, apalagi pengikut Sunni yang dalam konsep teologi tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Alawi.
Perlu juga dicatat, pengikut sekte Alawi adalah etnik Arab sementara Syiah Iran adalah etnik Persi. Dalam sejarah, sejak zaman bahula hingga dewasa ini, sulit untuk mengakurkan Arab-Persi ini meskipun mereka satu agama (Islam) dan satu kawasan (Timur Tengah). Anda mungkin lama mengenal "Teluk Persi" tapi itu tidak ada dalam "peta Arab" karena mereka menyebutnya "Teluk Arab" tidak mau disebut Teluk Persi. Selain itu, sekte Alawi sangat nasionalis terhadap Suriah yang dulu di zaman kolonial Perancis pernah mempunyai negara independen: Negara Alawi.
Memang dari segi kebahasaan, Alawi berarti "pengikut Ali bin Abi Thalib", sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad yang, melalui pernikahannya dengan putri beliau, Fatimah az-Zahra, melahirkan Hasan-Hussein dan keturunannya termasuk kaum asyraf dan sadah. Dari sini bisa diklaim sebagai "Syiah" karena kata "Syiah" itu juga berarti "kelompok /partai pembela / pengikut Ali".
Tetapi dari konsep teologi, sekte Alawi berbeda dengan arus utama Syiah karena pengikut Alawi tidak mengakui Imam ke-12. Menurut mereka, setelah Imam ke-11 wafat, yaitu Imam Hassan bin Ali al-Askari, imam ke-12-nya adalah Muhammad bin Nusair, bukan Muhammad bin Hassan yang dikenal dengan sebutan "Imam Mahdi". Muhammad bin Nusair (hidup pada abad ke-9 M) inilah pendiri sekte Alawi sehingga sekte ini juga dikenal dengan sebutan "Nusairisme". Muhammad bin Nusair inilah yang pada awalnya mengembangkan konsep teologi Alawi yang mengadopsi Trinitas Kristen sehingga ada dugaan kuat bahwa Alawi ini sebetulnya adalah "the lost Christianity" di Timur Tengah.
Seperti apa kisah selanjutnya? Bagaimana sejarah sekte Alawi ini? Kenapa pengikut Nusairisme itu dianggap sebagai "pengikut Nasara atau Nasrani"? Siapa saja para pentolan teolog dan tokoh agamanya yang mengembangkan sekte Alawi ini? (bersambung).
Baca juga : 

Arab Tak Berarti Habib (18): Sekte Alawi di Suriah


Arab Tak Berarti Habib (18): Sekte Alawi di Suriah

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158966258755523?pnref=story

Banyak masyarakat, Muslim maupun non-Muslim, tidak paham tentang sekte Alawi dalam Islam. Sekte Alawi adalah kelompok minoritas agama di Suriah (sekitar 10%). Sebagian kecil pengikut sekte ini tinggal di Libanon dan Turki. Tetapi harap dicatat, sekte Alawi ini beda dengan kelompok Alevi di Turki.
Dari aspek agama, mayoritas penduduk Suriah (sekitar 18 juta) adalah Sunni, kemudian setelah itu ada Kristen, Alawi, Druze, Ismaili, Itsna Asy'ariyah, Yahudi, Yazidi, dlsb. Kelompok Alawi di Suriah kebanyakan mendiami Provinsi Latakia dan sebagian menyebar di Provinsi Homs, yang lain mendiami kota Damaskus dan Aleppo.
Meskipun minoritas, kelompok Alawi mengontrol jalannya politik-kekuasaan dan pemerintahan di Suriah yang sejak 2011 terlibat Perang Sipil ini. Hal itu terjadi karena pendiri Republik Arab Suriah modern, Hafez al-Assad, adalah dari sekte Alawi ini. Presiden Bashar al-Assad yang kini memerintah Suriah sejak tahun 2000 adalah putra Hafez al-Assad ini.
Sejak memimpin Suriah di awal 1970an, rezim al-Assad mengontrol politik dan pemerintahan dengan menunjuk para top birokrat, petinggi militer, dan komandan intelejen dari kalangan Alawi. Alasannya tentu saja untuk mengamankan jalannya roda pemerintahan, maka akan lebih baik menunjuk orang-orang yang bisa dipercaya tidak menjadi "Bruthus" di kemudian hari.
Meski demikian, bukan berarti kelompok Alawi tidak berpatron dengan Sunni dan kepentingan Sunni secara mutlak diabaikan begitu saja. Juga, bukan berarti masyarakat kecil pengikut Alawi hidup makmur sejahtera karena memiliki "rezim Alawi". Sama sekali bukan. Masalahnya tidak sesimpel yang kita bayangkan. Dunia itu tidak "hitam-putih" choy. Ingat itu.
Meskipun begitu, ketika Perang Sipil berkecamuk sejak 2011 yang membuat Suriah kini porak poranda, mayoritas pengikut Alawi membela sang rezim dengan bergabung di kelompok milisi Shabiha, National Defense Forces, dan grup paramilitary lain. Sementara sebagian pengikut Sunni bergabung ke kelompok oposisi seperti Jabhat Fatah al-Syam, Ahrar al-Syam, dlsb.
Kenapa pengikut Alawi membela Rezim Assad? Sebagian karena loyalitas kepada keluarga Assad, sebagian lain karena takut dan khawatir kalau rezim Sunni berkuasa, mereka akan menjadi target diskriminasi dan penindasan seperti yang mereka lakukan dalam sejarah kepolitikan Islam. Memang, selama berabad-abad, kelompok Alawi menjadi korban persekusi, prosekusi, diskriminasi, dan "si-si" lainnya karena mereka dituduh heretik dan dikafir-sesatkan baik oleh Sunni maupun oleh Syiah.
Lalu, seperti apakah sistem-kepercayaan Alawi itu? Apa perbedaan fundamental antara Alawi dengan arus utama Sunni maupun Syiah? Kenapa Sunni dan Syiah menyesatkan mereka? Kapan kelompok Alawi ini muncul? Bagaimana sejarahnya? Bersambung lagi deh. Capek ngetik bok he he
Baca juga : 

Arab Tak Berarti Habib (17): Republik Arab Suriah


Thursday 22 June 2017

Arab Tak Berarti Habib (17): Republik Arab Suriah

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158961116575523

Syria atau Suriah (Bahasa Arab: Suriya) yang nama lengkapnya adalah Republik Arab Suriah (al-Jumhuriyah al-Arabiyyah al-Suriyah) adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat berpenduduk sekitar 18 juta. Negara ini berbatasan dengan Libanon, Turki, Irak, Yordania, dan Israel.

Dalam literatur Bahasa Inggris, nama Suriah ini sama dengan Levant yang dalam Bahasa Arab disebut a-Syam. Itulah sebabnya ISIS disebut juga ISIL (Islamic State of Iraq and Levant). Nama al-Syam itu sangat populer dalam tradisi Islam, dan memang Suriah merupakan salah satu kawasan klasik dan bersejarah tempat berbagai kerajaan dan empirium kuno membangun peradaban termasuk Kerajaan Ebla yang legendaris itu.

Damaskus dan Aleppo adalah dua di antara kota-kota kuno yang masih bertahan hingga sekarang. Di zaman Kekhalifahan Islam, Damaskus pernah menjadi ibukota Kerajaan Umayyah, kerajaan pertama dalam sejarah kepolitikan Islam. Kesultanan Mamluk di Mesir juga pernah menjadikan Damaskus sebagai kota provinsi yang penting.

Dalam sejarah Suriah modern telah bergonta-ganti nama. Dulu di zaman Turki Usmani, kawasan ini bernama Arab Levant. Kemudian setelah Turki Usmani rontok, kawasan ini bergonta-ganti nama: pada 1920 pernah bernama Kerajaan Arab Suriah, kemudian Negara Suriah (pada waktu di bawah mandat dan kontrol Perancis). Pernah juga bernama Republik Suriah yang dideklarasikan oleh negara-negara kecil bentukan Perancis: Negara Suriah, Negara Alawi, dan Negara Jabal Druze. Perancis memang sangat berperan dalam membentuk peta sosial-kultural-politik Suriah kontemporer seperti tampak dewasa ini.

Suriah merupakan salah satu kawasan yang sangat plural dan kompleks di Timur Tengah, baik dari aspek bahasa, agama, maupun kelompok etnik. Ada banyak suku bangsa yang tinggal di kawasan ini: Arab, Yunani, Armenia, Assyria, Kurdi, Turki, Mandea, Kirkasia, dlsb. Dari aspek kelompok agama juga sangat majemuk: Sunni, Kristen, Druze, Alawi, Ismaili, Mandean, Yahudi, Yazidi, dlsb. Dengan 10%, Kristen menempati agama minoritas-mayoritas di Suriah setelah Islam, lalu disusul Druze (Druizme). Ada banyak denominasi Kristen di Suriah, yang sebagian berkembang di Indonesia.

Banyak yang mengira Suriah adalah "negara Syiah". Itu adalah keliru besar. Mayoritas penduduk Suriah adalah Arab Sunni. Hanya saja, kekuasaan dikontrol oleh "Rezim Alawi" (keluarga al-Assad). Jadi, dalam konteks Suriah, "minoritas mengontrol mayoritas" seperti di Irak zaman Saddam Hussein dulu, dimana minoritas Arab Sunni mengontrol Syiah dan Kurdi.

Apakah Alawi itu Syiah? Tidak jelas. Dalam sejarahnya arus utama Syiah juga tidak mengakui Alawi sebagai bagian dari Syiah karena dipandang "sesat" dan menyimpang dari kanon resmi kesyiahan. Jangankan pada Alwawi, kepada para pengikut Syiah Zaidiyah dan Ismailiyah saja, Syiah Imamiyah atau Itsna Asyariyah sebagai Syiah mayoritas tidak mengakui otentisitas mereka. Orang-orang Alawi (berbeda dengan Alevi di Turki atau Ba Alawi di Yaman) sendiri lebih suka menyebutnya "Alawi" ketimbang Syiah.

Bagaimana kisah selanjutnya kenapa Alawi bisa menguasai pemerintahaan Suriah? Dan seperti apakah sebetulnya "jenis kelamin" dari sekte Alawi itu? (bersambung).
#RepublikArabSuriah
#ArabTakBerartiHabib

Wednesday 21 June 2017

Pelintirisasi Para Haters: dari cebok sampai liberal

Penulis : Nadirsyah Hosen
sumber : https://www.facebook.com/NadirsyahHosen/posts/1897989673782643

Berulangkali tulisan, ceramah maupun vlog saya dipelintir oleh para haters yang dasarnya adalah kebencian, dan ini yang menyebabkan mereka gagal paham. Saya ingin kasih 3 contoh saja:
Pertama, beberapa waktu lalu ada seorang ibu di sebuah pengajian di Australia yang menganggap saya mengatakan membaca al-Qur'an itu tidak penting buat mahasiswa. Tentu saja ini tuduhan serius. Saya mengasuh majelis khataman al-Qur'an setiap bulan sejak tahun 2005 di Brisbane, kemudian di kota Wollongong dan sekarang di Melbourne. Selepas khataman Qur'an saya lanjutkan dengan pengajian tafsir. Pesertanya mahasiswa dan juga masyarakat umum. Jadi bagaimana mungkin saya dianggap mengatakan membaca al-Qur!an itu tidak penting? Dua belas tahun saya mengajak kawan-kawan untuk khataman Qur'an setiap bulannya! Ini fakta yang terang benderang.
Ibu itu keliru memahami salah satu ceramah saya tentang melakukan prioritas amal. Saya sampaikan: kalau anda masih pelajar atau mahasiswa, maka amalan utama itu adakah belajar dan menyelesaikan sekolah anda dengan baik, bukan riyadhah amalan wirid, atau baca Qur'an seharian. Kalau anda seorang pengusaha, amalan prioritas buat anda itu banyak bersedekah, bukan malah duduk berzikir di masjid. Kalau anda seorang ulama, maka amalan utama itu ya berzikir dan mengaji. Sekarang ini kok semuanya mau jadi ulama? Lantas siapa yang akan menjadi ilmuwan dan menjadi pengusaha?
Apakah mereka dilarang melalukan ibadah sunnah di atas? Tentu tidak. Namun masing-masing punya amalan prioritas, sesuai amanah dan kondisinya. Kalau anda sedang dapat amanah menyeleaikan disertasi, maka selesaikan disertasi, bukan malah 'ngeles' dengan mengerjakan amalan lainnya. Belajar dan bekerja itu juga bagian dari ibadah.
Itu konteks pembicaraan saya. Berbeda jauh kan dengan pelintiran jamaah tersebut?
Kedua, saya menyampaikan di vlog saya: "apapun aliran anda, dan siapapun anda, mari kita berusaha untuk terus menjadi orang baik!" Ajakan yang simpatik ini justru dipersoalkan oleh sebagian mahasiswa UIN Pekanbaru. Ada yang bilang kalimat saya benar tapi bertujuan batil. Mereka mempertanyakan "baik menurut siapa?" Atau "mau mengarahkan kebaikan ke versi siapa? Versi liberal?" Ada yang bilang: "Inilah cara halus Nadirsyah Hosen menggiring orang masuk paham liberal!"
Saya terus terang bingung dengan reaksi mereka: mengajak berbuat baik saja kok dipelintir kesana-kemari yah? Dan apa hubungannya dengan liberal? Konteks ucapan saya adalah: Ada Muslim yang berbuat baik. Ada pula yang tidak berbuat baik. Begitu juga dengan pemeluk agama lain. Maka mari kita semua, apapun agama kita, berusaha untuk terus berbuat baik. Kalau anda Muslim, jaidlah Muslim yang baik. kalau anda Hindu, jadilah orang Hindu yang baik. Kalau anda orang Indonesia, jadilah warga negara yang baik. Begitu seterusnya. Berbuat baiklah kepada sesama, siapapun anda, dan siapapun mereka. Begitu sulitkah memahami konsep berbuat baik ini sampai harus dipelintir kesana kemari?
Ketiga, beberapa waktu lalu ada yang yakin saya pasti masuk neraka karena saya dianggap menghina Nabi Muhammad. Apa pasal? Saya mentwit bahwa "Yg ngotot mau Islam murni spt jaman Rasul ada baiknya introspeksi diri: dulu Rasul cebok pakai batu, ente mau gitu juga sekarang? Mikirr"
Sejumlah pihak menuduh saya menghina Nabi karena mengatakan Nabi cebok dengan batu. Kemudian digoreng dan dipelintir sedemikian rupa twit saya dan dikepcer disebar kemana-mana. Konteks pembicaraan tidak mereka pahami dan tidak diikutsertakan dalam twit saya yang dikepcer itu. Buat sebagian pihak yang penting mereka bisa membunuh karakter saya; masalah konteks dan kebenaran isi twit mereka gak peduli. Entah mereka belajar akhlak Islam dimana yah?
Konteks kicauan saya di twitter itu adalah soal sebagian pihak yang ingin 100% praktek Islamnya seperti jaman Rasul tanpa memilah mana yang memang wajib kita ikuti dan mana yang berupa anjuran dan mana yang kita bisa modifikasi sesuai perkembangan jaman. Untuk mereka itulah saya ingatkan bahwa di jaman Nabi beliau SAW cebok dengan 3 batu. Kalau kita tidak paham ilmunya dan hanya mau mengikuti apapun yang Rasul perbuat ya silakan sekarang mereka cebok dengan 3 batu.
Tapi kan sekarang air banyak? Jaman Nabi air susah? Exactly this is my point. Berarti anda sudah memikirkan perbedaan situasi dan kondisi. Hal ini yang sering ditolak oleh mereka yang menganut paham Islam murni: mereka tidak peduli dengan perbedaan situasi. Nah, twit saya itu meminta mereka berpikir dengan memberi contoh yang praktis. Mungkin mereka kaget dengan contoh praktis yang menohok ini. Karena gak bisa bantah, akhirnya marah-marah dan fitnah sana-sini.
Lantas kenapa saya dianggap menghina Rasul dengan mengatakan Rasul dulu cebok dengan 3 batu. Ada yang menganggap kata cebok tidak pantas. Anda buka Kamus sajalah, istinja itu diterjemahkan sebagai cebok. Jadi kalau istinja karena bahasa Arab dianggap sopan, tapi kalau pakai bahasa Indonesia cebok dianggap gak sopan? Sebagian lagi ternyata menganggap saya berbohong bahwa Nabi pernah cebok (maaf, istinja yah?) dengan batu. Ini penghinaan, kata mereka. Tidak benar Nabi pernah cebok dengan batu. Nadirsyah Hosen mengarang cerita untuk menyesatkan umat dan menistakan Nabi!
Ternyata kawan-kawan kita itu belum pernah belajar bab istinja (cebok). Mereka tidak tahu sekian banyak Hadis Nabi yang shahih menceritakan Nabi pernah cebok dengan batu dan pernah juga dengan air. Masalah ini dibahas oleh kitab fiqh dengan detil. Yang pernah belajar di madrasah pasti paham. Jadi, sekali lagi, dimana menghinanya? Kok dipelintir kesana kemari: sampai yakin sekali saya bakal masuk api neraka?
Kalau gitu kita ngaji bab cebok dulu deh dari kitab fiqh, al-Umm karya Imam Syafi'i --biar pada ngeh bahwa saya tidak mengada-ngada, apalagi menghina Nabi. Berani antum bilang Imam Syafi'i bohong dan menghina Nabi karena membahas Nabi cebok dengan batu?
Ayo ngaji duluuuuu
Bab Istinja (cebok)
Dari kitab al-Umm karangan Imam Syafi'i
‎أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -
‎ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «إنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ فَإِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلَا يَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرُهَا بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ وَلْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ» وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَأَنْ يَسْتَنْجِيَ الرَّجُلُ بِيَمِينِهِ.
‎أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو وَجْزَةَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ فِي الِاسْتِنْجَاءِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَأَنْ يَسْتَنْجِيَ الرَّجُلُ بِيَمِينِهِ وَالثَّلَاثَةُ الْأَحْجَارُ لَيْسَ فِيهِنَّ رَجِيعٌ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَمَنْ تَخَلَّى أَوْ بَالَ لَمْ يُجْزِهِ إلَّا أَنْ يَتَمَسَّحَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ أَوْ آجُرَّاتٍ أَوْ مَقَابِسَ أَوْ مَا كَانَ طَاهِرًا نَظِيفًا مِمَّا أَنْقَى نَقَاءَ الْحِجَارَةِ إذَا كَانَ مِثْلَ التُّرَابِ وَالْحَشِيشِ وَالْخَزَفِ وَغَيْرِهَا.
‎(قَالَ) : وَإِنْ وَجَدَ حَجَرًا أَوْ آجُرَّةً أَوْ صِوَانَةً لَهَا بِثَلَاثِ وُجُوهٍ
‎فَامْتَسَحَ بِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهَا امْتِسَاحَةً كَانَتْ كَثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ امْتَسَحَ بِهَا فَإِنْ امْتَسَحَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَعَلِمَ أَنَّهُ أَبْقَى أَثَرًا لَمْ يُجْزِهِ إلَّا أَنْ يَأْتِيَ مِنْ الِامْتِسَاحِ عَلَى مَا يَرَى أَنَّهُ لَمْ يُبْقِ أَثَرًا قَائِمًا
‎ فَأَمَّا أَثَرٌ لَاصِقٌ لَا يُخْرِجُهُ إلَّا الْمَاءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إنْقَاؤُهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ جَهِدَ لَمْ يُنَقِّهِ بِغَيْرِ مَاءٍ.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya aku bagaikan bapak kalian, (maka aku beritahukan) jika kalian hendak membuang hajat janganlah menghadap kiblat dan tidak pula membelakanginya baik buang air besar atau kecil, dan hendaklah kamu cebok dengan tiga batu". Dalam riwayat lain disebutkan, "saat cebok, pakailah 3 batu, dilarang pakai kotoran hewan, atau tulang dan jangan pula cebok menggunakan tangan kanan".
Berkata Imam Syafi'i: "sesiapa yang buang air besar atau kecil maka cukup baginya mengusap dengan tiga batu tiga kali, bisa pakai batu bata, kayu bakar, atau barang yang suci dan bersih yang bisa membersihkan seperti tanah, rumput, tembikar dan yang lainnya. Dan jika ia menemukan sebuah batu yang memiliki tiga sisi lalu mengusap dengan masing-masing sisi maka itu sama dengan tiga batu. Tapi kalau masih ada bekas kotorannya, maka itu tidak cukup kecuali mengusapnya kembali hingga bersih tak terlihat kotorannya lagi. Kalau bekas kotoran itu tidak bisa hilang kecuali dengan air, maka harus dibersihkan dengan air."
Demikian klarifikasi saya terhadap tiga kasus pelintirisasi. Masih banyak sebenarnya ucapan atau tulisan saya yang dipelintir. Bahkan ada pula yang menganggap saya berkata sesuatu dan memaki-maki saya karena ucapan itu, padahal saya tidak pernah bicara demikian. Kenapa anda tidak tabayun saja sih? Kebencian itu merusak kebeningan hati dan kejernihan akal pikiran.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Friday 16 June 2017

Tragedi Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah

Penulis : Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


Sesama Muslim itu bersaudara. Tidak mungkin sesama umat Islam akan rebutan jabatan khalifah, apalagi institusi khilafah itu diklaim bagian dari ajaran Islam yang sempurna dan pasti benar. Sayang, kenyataannya tidak demikian. Islam tentu diyakini kebenarannya, namun khilafah adalah institusi politik yang tidak selalu bersih dan suci dari perebutan kekuasaan.
Simak kisah pertarungan kekuasaan antara Khalifah Abdullah bin Zubair dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam lanjutan ngaji sejarah politik Islam di Geotimes.co.id
Saya sudah ceritakan dalam tulisan sebelumnya, Perseteruan Khalifah, Khalifah Marwan bin Hakam meninggal dan digantikan anaknya, Abdul Malik. Imam Suyuthi bertahan dengan pendapatnya bahwa yang sah itu adalah kekhilafahan yang dipimpin oleh Khalifah Abdullah bin Zubair. Sementara Muawiyah II dan Marwan tidak sah, karena dibai’at belakangan–kalah cepat dengan pembai’atan Abdullah bin Zubair.
Lalu, bagaimana dengan Abdul Malik bin Marwan? Imam Suyuthi, masih dalam kitabnya,Tarikh al-Khulafa, konsisten menganggap Abdul Malik juga tidak sah selama masih berkuasanya Abdullah bin Zubair. Baru setelah Abdullah bin Zubair wafat, maka Imam Suyuthi menganggap masa kekuasaan yang sah dari Khalifah Abdul Malik baru dihitung.
Kalau kita ikuti pendapat Imam Suyuthi ini, maka ada masa sekitar 7 tahun dari
kekuasaan Abdul Malik yang tidak dianggap sah. Abdullah bin Zubair dibai’at tahun 683 dan wafat tahun 692 (9 tahun berkuasa). Sedangkan Abdul Malik diba’iat tahun 685 dan meninggal tahun 705 (20 tahun berkuasa).
Imam Suyuthi secara apa adanya menjelaskan kualitas pribadi Abdul Malik sebelum dan sesudah dia menjadi khalifah. Sebelum menjadi khalifah, Abdul Malik banyak meriwayatkan hadis dan diakui banyak kalangan sebagai salah satu rujukan dalam memecahkan persoalan keagamaan. Kealimannya tersiar luas sebagai orang yang banyak puasa dan salat di masjid serta pecinta al-Qur’an, bahkan dia termasuk yang
menentang ketika Khalifah Yazid mengirim pasukan ke Mekkah memerangi Abdullah bin Zubair.
Ketika Marwan, ayah Abdul Malik, dulu diba’iat menjadi Khalifah, ada perjanjian dengan para syarif di Yaman dan tokoh senior Bani Umayyah bahwa yang menggantikan Marwan nantinya adalah Khalid bin Yazid (saudara tiri Khalifah Muawiyah II yang baru mangkat saat itu), dan setelahnya akan berkuasa Amr bin Sa’id bin al-Ash al-Ashdaq. Namun, Marwan menciderai perjanjian itu, dengan mengangkat putranya sendiri, Abdul Malik, dan kemudian di urutan berikutnya ditentukan pula sebagai khalifah adalah putranya yang lain, yaitu Abdul Azis.
Seperti bisa kita lihat kisah penodaan perjanjian antara Muawiyah dan Sayyidina Hasan terulang kembali di sini. Bukan cuma itu, kisah wafatnya Sayyidina Hasan karena ulah istrinya juga terulang kembali di sini. Demikianlah kekuasaan dan perempuan menjadi bumbu yang menggiurkan, tak terkecuali di masa khilafah.
Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya berkisah bagaimana Marwan, yang khawatir dengan Khalid bin Yazid bakal menggantikan posisinya sesuai perjanjian sebelumnya, mendapat nasihat agar menikahi janda Khalifah Yazid yang tak lain ibunya Khalid. Marwan mengikuti saran itu dan Khalid menjadi anak tirinya sehingga bisa dia kontrol pergerakannya.
Namun Marwan bertindak lebih jauh, dia membunuh karakter Khalid bin Yazid di depan banyak orang dengan mencemooh: “Aku tidak pernah melihat orang lain sebodoh dia!” Khalid tersinggung dan melapor ke ibunya. Ibunya menyuruh Khalid diam dan menyerahkan urusan ini di tangannya.
Maka, suatu malam di saat Marwan tengah tidur, ibu Khalid (yang merupakan salah satu istri Marwan) mendekap Marwan dengan bantal hingga kemudian meninggal. Ini terjadi di bulan Ramadhan tahun 685. Begitulah penuturan Imam Thabari, seorang ahli tafsir, fiqh, dan sejarah yang diakui otoritasnya oleh dunia islam.
Imam Suyuthi menceritakan riwayat dari Ibnu Aisyah bahwa Abdul Malik berada di masjid dan tengah membaca al-Qur’an ketika berita ayahnya, Marwan, wafat. Itu artinya Abdul Malik akan menggantikan ayahnya sebagai khalifah. Abdul Malik menutup mushaf al-Qur’an seraya berpamitan: “Ini masa terakhir untukmu”.
Berdasarkan riwayat inilah kita bisa memahami bagaimana sejak menjadi Khalifah, Abdul Malik berubah total. Dari seorang alim pecinta al-Qur’an menjadi politikus yang tindak-tanduknya tidak lagi mengikuti petunjuk al-Qur’an. Misalnya, Imam Thabari dan Imam Suyuthi melaporkan Abdul Malik membunuh rivalnya, Amr bin Said bin al-Ash al-Ashdaq, yang di bagian atas sudah saya sebutkan seharusnya menjadi khalifah
pengganti Marwan.
Rivalnya yang lain, Khalid bin Yazid, dibiarkan hidup karena mundur dari dunia politik dan memilih menjadi ahli kimia.
Abdul Malik diriwayatkan juga mengakui bahwa dia meminum khamr setelah ibadah. Abdul Malik juga yang mengirim al-Hajjaj bin Yusuf memerangi Abdullah bin Zubair hingga sahabat Nabi ini wafat dengan  tragis. Kekejaman Hajjaj di bawah komando Khalifah Abdul Malik sudah sangat melegenda dan tercatat dalam literatur keislaman.
Abdullah bin Zubair dikenal kealimannya sejak di masa Nabi. Setelah wafatnya Sayyidina Husain di Karbala dan wafatnya Yazid bin Muawiyah, Abdullah bin Zubair dibai’at oleh penduduk Mekkah sebagai Khalifah. Pertarungan perebutan khalifah ini berujung pada kekalahan Abdullah bin Zubair dan berjayanya Dinasti Umayyah.
Atas perintah Abdul Malik, al-Hajjaj berangkat dengan dua ribu pasukan mengepung Mekkah. Masih belum berhasil. Maka dating lagi bala bantuan lima ribu pasukan membantu Hajjaj. Mereka berhasil menduduki kota Thaif. Lantas mengalahkan pasukan Abdullah bin Zubair yang menyingkir.
Tiba musim haji dan Hajjaj memimpin sebagai amirul haj. Namun beliau tidak ikut thawaf dan tidak mengenakan pakaian ihram. Dia membawa pedang dan memakai baju besi. Abdullah bin Zubair tidak bisa berhaji karena tidak bisa masuk ke padang Arafah yang dikuasai Hajjaj.
Peperangan terjadi 6 bulan. Selama pengepungan itu, kota Mekkah dan juga Ka’bah dilaporkan menjadi terbakar akibat panah-panah api yang dilepaskan pasukan Hajjaj. Imam Thabari melaporkan tiba-tiba langit menggelegar dan kilat menyambar seolah melindungi Hajar Aswad dari serangan api panah pasukan Hajjaj.
Pasukan Hajjaj menjadi ragu, namun panglima Hajjaj terus memerintahkan mereka menyerang. Kiswah Ka’bah mulai terbakar, setelah itu kilat menyambar 12 pasukan Hajjaj yang mati seketika. Hajjaj meminta pasukannya untuk tidak mundur, meski banyak yang ragu melihat langit seolah melindungi Ka’bah.
Keesokan harinya ada berita kilat menyambar di sekitar Ka’bah dan kali ini sejumlah pasukan Abdullah bin Zubair terkena. Hajjaj yang mendapat laporan peristiwa itu segera bangkit dan berkata kepada pasukannya: “Lihat mereka kena sambar kilat. Kita dalam keadaan yang benar; dan mereka yang durhaka!” Ternyata sejak dahulu banyak yang mengklaim kebenaran seenaknya sendiri.
Melihat betapa perkasanya pasukan al-Hajjaj, sejumlah sahabat dan penduduk Mekkah mulai meninggalkan loyalitas mereka terhadap Abdullah bin Zubair dan bergabung kepada al-Hajjaj. Imam Thabari melaporkan 10 ribu penduduk Mekkah pindah mendukung Hajjaj, termasuk kedua anak Abdullah bin Zubair, yaitu Hamzah dan Khubayb.
Abdullah bin Zubair pergi menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, dan meminta saran. Asma’ yang merupakan putri khalifah pertama, Abu Bakar, meminta anaknya terus bertahan melawan. Abdullah bin Zubair mencium kening ibunya, dan kembai ke medan perang.
Imam Thabari meriwayatkan dengan lengkap dialog anak dan ibu ini. Mereka tahu bahwa hanya tinggal menunggu waktu saja Abdullah bin Zubair akan terbunuh. Sebuah
dialog perpisahan yang sangat mengharukan. Dilaporkan bahwa kemudian Abdullah bin Zubair dibunuh oleh pasukan al-Hajjaj dengan cara kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Dan pasukan al-Hajjaj lantas berteriak mengumandangkan takbir.
Ibunya, Asma binti Abu Bakar, menyaksikan itu semua. Begitu juga dengan Abdullah bin Umar. Keduanya masing-masing adalah keturunan dua khalifah pertama dalam Islam: Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Mereka menyaksikan takbir disuarakan atas pembunuhan yang begitu kejam bertempat di tanah suci, kota Mekkah. Abdullah bin Zubair wafat saat usianya sekitar 68 tahun.
Sejarah politik kekhilafahan mengandung berbagai pengkhianatan, peperangan, perebutan kekuasaan hingga pembunuhan dan intrik-intrik politik. Ada yang berargumen bahwa sejarah demokrasi pun seperti itu. Benar, namun demokrasi tidak pernah mengklaim dirinya bagian dari ajaran kesempurnaan agama tertentu. Demokrasi dimulai dari ide manusia yang lemah dan banyak kekurangan namun kemudian belajar memperbaiki sistemnya dengan berkaca dari pengalaman sejarah.
Sistem khilafah kebalikannya: mengklaim sempurna karena dianggap bagian dari kesempurnaan ajaran Islam, tidak punya kelemahan, menjadi jawaban dari berbagai persoalan dan karena telah dianggap sempurna, maka tidak mau belajar dari kesalahan dan kekacauan yang terjadi.
Akibatnya, kita melihat demokrasi semakin lama semakin diperbaiki praktiknya; sedangkan sistem khilafah menutup diri dari perbaikan hingga akhirnya tumbang. Lakon khilafah selesai.
Maka, kita perlu terus ngaji sejarah politik Islam agar kita bersedia belajar dari kesalahan masa lalu dan terus berusaha membenahi kondisi umat. Itu hanya bisa kita lakukan jikalau kita mampu mengakui bahwa sistem pemerintahan khilafah itu tidak sempurna.
Bagaimana Anda bisa belajar dari kesalahan masa lalu kalau Anda merasa khilafah
adalah solusi umat? Solusinya saja bermasalah, kok!

Masjid Bunda Maria di Uni Emirat Arab

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10158930722250523?pnref=story

Belum lama ini, Sheikh Muhamed bin Zayid Al Nahyan, penguasa Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), mengeluarkan surat perintah untuk mengganti nama masjid megah "Masjid Sheikh Mohamed bin Zayid" (namanya sendiri) menjadi "Masjid Maria Ibu Yesus" (Maryam Umm 'Isa). Sejumlah tokoh agama Muslim & Kristen berfoto bersama di masjid tersebut (courtesy: Khaleej Times).
Penggantian nama ini dimaksudkan untuk menciptakan relasi sosial yang harmoni antar masyarakat agama di UEA yang memang sangat majemuk.
Menteri Negara Urusan Toleransi Sheikha Lubna sangat mengapresiasi pengubahan nama tersebut sebagai simbol toleransi dan koeksistensi damai antar-pemeluk agama, khususnya umat Kristen. Demikian pula sejumlah tokoh agama dan petinggi negara seperti Sheikh Mohammed bin Rasyid Al Maktoum dan Mohammed Matar Al Kaabi.
Sejumlah tokoh Kristen di UEA juga mengapresiasi sangat positif penamaan ini seperti Rev. Canon Andrew Thompson dari Gereja St. Andrew, tetangga Masjid Maria tersebut. Gerejanya dan juga gereja-gereja lain di UEA juga menyediakan acara buka puasa bersama untuk para pekerja Muslim migran.
Agama sebetulnya mengajarkan harmoni, kerukunan dan perdamaian yang sangat indah. Tapi sayang banyak pemeluknya yang justru terperangkap ke dalam lingkaran setan kekerasan, kebencian dan permusuhan.

Thursday 15 June 2017

Pancasila Yes, Islamisme No

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber : http://www.dw.com/id/pancasila-yes-islamisme-no/a-39252094

Klaim bahwa “Negara Pancasila” sebagai konsep politik-pemerintahan dan ketatanegaraan yang tidak Islami dan jauh dari norma-norma dan nilai-nilai keislaman sebuah propaganda semata. Demikian opini Sumanto Al Qurtuby.

Belakangan santer bergema suara-suara yang ingin mengganti Ideologi Negara Pancasila dengan apa yang mereka klaim sebagai "Ideologi Islam”. Yang menggemakan penggantian Pancasila ini adalah sejumlah elit politik, tokoh agama, aktivis Muslim, dan ormas Islamis dari berbagai kelompok dan faksi keislaman, bukan hanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saja yang selama ini memang dikenal begitu semangat dan heroik hendak mengganti Pancasila, UUD 1945, dan aneka sistem hukum-politik-pemerintahan Republik Indonesia (RI) karena dipandang sebagai tidak Islami dan produk kebudayaan kafir-sekuler.
Khusus untuk HTI (sebagaimana doktrin Hizbut Tahrir), yang di Indonesia sudah dibubarkan oleh pemerintah (secara politik), kelompok ini "bernafsu” sekali mengubah seluruh bangunan politik-pemerintahan RI dengan "Negara Khilafah” yang menurut mereka diklaim sebagai lebih Islami dan "lebih syar'i”. 
Saya ingin menyebut kelompok ini sebagai "kaum Islamis”, yaitu kelompok yang berpegang teguh pada atau ingin memperjuangkan "filosofi” dan ideologi Islamisme. Islamisme adalah sebuah gerakan reformasi yang mengadvokasi penataan ulang tatanan, sistem, dan struktur pemerintah dan masyarakat sesuai dengan apa yang kaum Islamis klaim sebagai "aturan dan hukum Islam”.
Bassam Tibi, seorang ahli kajian Islam politik ternama di University of Gottingen, Jerman, dalamIslamism and Islam (2012) mendefinisikan "Islamisme” sebagai sebuah gerakan fundamentalis berbasis politik atau sebuah ideologi politik yang berdasar pada "a reinvented version of Islamic law”. Bagi Tibi, apa yang kaum Islamis klaim sebagai "aturan dan hukum Islam” mengenai tatanan politik-pemerintahan dan ketatanegaraan itu pada hakikatnya hanyalah sebuah pemahaman dan penafsiran ulang atas sejumlah teks, wacana, doktrin, dan norma kepolitikan dalam Islam atau penjabaran ulang tentang "fiqih politik” (fiqh al-siyasah) sesuai dengan perkembangan sosial-politik kontemporer.
 "Rekayasa sosial”  untuk politik
Dengan demikian Islamisme adalah sebuah "rekayasa sosial” kaum Islamis untuk menjadikan Islam semata-mata sebagai "organ politik”. Awalnya, ide dan gerakan ini sebagai reaksi atas kolonialisme Eropa dan imperialisme Barat tetapi dalam perkembangannya juga disebabkan oleh sejumlah faktor sosial-politik lokal (termasuk rezim politik Muslim yang berhaluan sekuler, liberal, sosialis, atau nasionalis) dimana kaum Islamis itu berasal atau berada. Pula, Islamisme bukan hanya berkembang di kalangan Sunni tetapi juga Syiah. Para tokoh, ideolog, dan pemikir utama ideologi Islamisme ini antara lain Abul A'la Maududi (w. 1979), Sayyid Qutb (w. 1966), Imam Khomeini (w. 1989), Muhammad Qutb (w. 2014), dlsb.
Jadi jelaslah bahwa Islamisme itu berbeda secara substansial dengan Islam yang merupakan sistem keimanan, agama, dan jalan hidup kaum Muslim yang mencakup sebuah aspek kehidupan umat manusia: sosial, intelektual, kultural, ritual, spirtiual, dlsb, bukan melulu masalah kepolitikan.
Islamisme juga berbeda dengan Salafisme, Wahabisme, Jihadisme, atau Fundamentalisme misalnya karena tidak semua ideologi dan gerakan ini berorientasi politik-kekuasaan. Banyak dari kelompok Salafi-konservatif ini (baik klasik maupun kontemporer) yang hanya bertujuan untuk melakukan "reformasi moral-kultural-teologikal-keagamaan” masyarakat saja, tidak memiliki keinginan, tujuan, dan tendensi politik praktis untuk mendirikan sebuah negara atau pemerintah dengan sistem politik berbasis Islam.
Karena karakter politik yang begitu kuat dalam Islamisme, maka sejumlah sarjana kadang-kadang menyamakan atau menyebut Islamisme dengan "Islam politik”. Lihat beberapa studi tentang ini, misalnya, Asef Bayat (Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam) atau Richard Martin dan Abbas Barzegar (Islamism: Contested Perspectives on Political Islam).
Mengatasnamakan dogma
Berdasarkan penjelasan singkat ini, maka jelaslah bahwa apa yang kaum Islamis di Indonesia klaim sebagai pendirian negara berbasis Islam, pada praktiknya adalah berdasar "Islamisme” ini. Islam sebagai sebuah agama tidak pernah mengatur tentang bentuk, sistem, dan mekanisme politik-pemerintahan dan ketatanegaraan. Tidak ada juklak dan juknis yang baku dan terang-benderang tentang hal ini di dalam agama Islam.
Jika disimak dengan seksama, Al-Qur'an dan Hadis juga hanya memuat tentang etika, norma, moralitas, tata-nilai, dan tanggung jawab sebuah "pemimpin politik”, bukan desain sistem politik-pemerintahan. Islam hanya menanamkan tentang pentingnya keadilan, keamanan, ketenteraman, kedamaian, dan kemakmuran sebuah masyarakat tidak peduli mereka tinggal dan hidup dalam sistem monarkhi, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, republik, komunisme, sosialisme, dlsb. Dengan kata lain, Islam hanya mewacanakan tentang "substansi” atau "isi” bukan "bungkus” dan "kulit permukaan”.
Dalam sejarahnya, Islamisme tidak menjamin sebuah negara, kawasan, dan masyarakat didalamnya menjadi adil-makmur hidup sejahtera aman tenteram dan sentosa. Sebaliknya, dalam bingkai Islamisme, negara justru tenggelam dalam keterpurukan dan ketidakadilan. Masyarakat hidup mencekam dalam ketakutan dan kebiadaban karena diteror oleh kaki-tangan rezim Islamis yang mengatasnamakan dogma dan Tuhan.
Salah satu contoh nyata dari sebuah negara di bawah Islamisme ini adalah Afganistan di zaman rezim Taliban, 1996–2001. Di bawah kendali Mullah Mohammed Omar dan Mullah Mohammad Rabbani Akhund, Afganistan yang waktu itu bernama Emirat Islam Afganistan, bukannya maju pesat dan menjadi masyarakat berperadaban malah hancur-lebur berkeping-keping untuk kesekian kalinya (simak buku cemerlang karya Thomas Barfield, Afghanistan: A Cultural and Political History).
Jadi, "Negara Islam” (atau "Negara Khilafah Islam”) yang dikampanyekan dan dipropagandakan oleh sejumlah kalangan Islamis di Indonesia yang menjanjikan adanya kemakmuran, keadilan, ketenteraman, kedamaian, dlsb hanyalah "pepesan kosong” dan "janji-janji surga” belaka.
Klaim kaum Islamis bahwa "Negara Pancasila” sebagai sebuah konsep politik-pemerintahan dan ketatanegaraan yang tidak Islami dan jauh dari norma-norma dan nilai-nilai keislaman juga sebuah propaganda semata untuk menarik simpati masyarakat awam yang buta wawasan keislaman dan sejarah Islam politik dan politik Islam.
Pancasila sudah sangat Islami
Sebagai sebuah filosofi, fondasi kebangsaan, dan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila sudah sangat Islami dan Qur'ani karena kelima silanya berbasis pada (dan mendapat rujukan kuat dalam) ayat-ayat Al-Qur'an dan praktik kenabian. Jika Pancasila tidak sesuai dengan Islam dan Al-Qur'an, tentu saja para tokoh Muslim dan pendiri bangsa yang terlibat merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia ini tidak akan menyetujui dan merestuinya. Itulah sebabnya para ulama NU berpengaruh seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Abdul Wachid Hasyim, KH Ahmad Siddiq, KH As'ad Syamsul Arifin, dlsb dengan lantang membela dan mempertahankan Pancasila dari rongrongan kelompok anti-Pancasila.
Pancasila juga dinilai sangat tepat untuk bangsa dan negara Indonesia karena watak dan karakternya yang sangat merangkul semua agama, golongan, etnis, suku, dan ras yang sangat majemuk di Tanah Air tercinta ini. Pancasila juga dinilai paling pas dan tepat karena ia merupakan produk atau hasil kesepakatan bersama para Bapak Pendiri Bangsa yang tentunya bukan hanya kaum Muslim saja. Para founding fathers seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, KH Abdul Wachid Hasyim, Agus Salim, Alexander Andries Maramis, Ahmad Soebardjo, Ki Hadikusumo, dlsb, adalah para pendiri bangsa yang sudah dengan susah payah merumuskan Pancasila sebagai fondasi kenegaraan-kebangsaan Republik Indonesia. Sebagai sebuah ideologi negara dan fondasi kebangsaan, Pancasila sudah final. 
Kini, tugas kita bersama sebagai warga negara Indonesia—apapun agama dan etnis kita—untuk merawat, menjaga, memelihara, membela, sekaligus mengimplementiskan nilai-nilai ideal Pancasila dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara, bukan malah bersikeras untuk mendongkel dan menggantinya dengan ideologi-ideologi baru yang tidak jelas.
Akhirul kalam, bagiku, demi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang lebih baik di masa mendatang: Pancasila Yes, Islamisme No.   


Kurma

Ditulis oleh : PROF. SUMANTO AL QURTUBY

Anda tahu kurma? Ya jelas tahu dong, masak nggak sih? Anda pernah makan kurma? Pasti sudah ya, masak belum sih? Tahukah Anda kalau kurma itu bukan hanya ada di Saudi dan memang asal-usulnya bukan dari kawasan yang sekarang bernama Saudi? Kalau pertanyaan yang terakhir ini, saya agak ragu kalau Anda sudah tahu atau belum. Tapi karena ini bulan puasa, saya berprasangka baik aja deh kepada kalian he he.
Kurma (Inggris: date, Arab: tamr) asal-usulnya dari Mesopotamia (kini Irak) dan Lembah Indus. Dari kawasan ini kemudian tersebar ke berbagai wilayah Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa kurma telah ada sejak beribu-ribu tahun Sebelum Masehi di zaman kuno peradaban Mesopotamia maupun prasejarah Mesir. Bukan hanya menjadi makanan pokok masyarakat Timur Tengah, kurma juga diolah menjadi anggur. Selain Timur Tengah, kurma juga ditemukan di kawasan Mehrgerh di Pakistan dan area Lembah Indus lain.
Dari Timur Tengah, kemudian kurma diperkenalkan oleh para pengelana, pedagang, dan masyarakat nomad ke berbagai kawasan di dunia termasuk Afrika, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin.
Kini, Kurma telah menyebar hampir merata di kawasan Arab dan Timur Tengah: Saudi, Irak, Iran, Aljazair, Libya, Mesir, Sudan, Maroko, Emirates, Tunisia, Oman, Israel, Yordania, Yaman, Turki, dslb. Masing-masing negara membanggakan jenis kurma di negaranya sebagai yang paling enak, paling lezat, dan paling aduhai.
Orang Aljazair misalnya membanggakan kurma iteema, orang Tunisia bilang kurma kenta yang paling yahud, warga Arab Emirates bilang kurma lulu atau khenaizi yang paling lezat, kata orang Libya kurma abil yang paling oke, sementara orang Sudan menyebut kurma barakawi yang paling oye. Jika orang Oman bilang kurma fard yang paling hebring, warga Maroko bilang kurma majdul yang paling uueenaakk.
Bukan hanya antar-negara saja, antar-daerah di sebuah negara juga saling berlomba adu-keenakan. Di Saudi, ada banyak sekali jenis kurma: sukkari, rotab, ajwah, khunaizi, khalasah, dlsb, yang masing-masing menjadi kebanggaan daerah penghasil kurma itu. Orang Qassim menyebut sukkari yang paling oke, sementara orang Madinah menyebut kurma ajwah yang paling top. Nah, kurma ajwah inilah yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad.
Negara produser kurma terbesar adalah Mesir, kemudian disusul Iran, lalu Saudi, Irak, Pakistan, Uni Emirat Arab, Aljazair, Sudan, Oman, dlsb. Jadi, meskipun bukan Saudi sebagai produser kurma terbesar, banyak orang masih menganggap bahwa Saudi-lah sebagai "pusat kurma" di dunia ini.
Kemarin, saat saya hendak berbuka di sebuah warung di Singapura, terjadilah dialog singkat antara penjual (P) dan saya (S).
P: "Sudah buka puasa, kah?"
S: "Ini saya mau buka puasa, Pak", jawabku. Mungkin karena melihat tampangku yang Melayu jadi asumsinya Muslim dan kalau Muslim ya berarti puasa he he.
P: Kalau begitu, silakan makan kurma ini dulu Pak. Ini kurma asli dari Arab Pak. Sunah rasul kalau makan tuh kurma.
S: Arab mana Pak?
P: Ya Arab Saudi. Mana Lagi? Kurma kan hanya ada di Makah dan Madinah sebagai warisan dari Nabi Muhammad untuk umat Islam.
S: Oo begitu ya Pak. Terima kasih Pak atas penjelasannya. Saya mau makan dulu ya Pak. Nyem nyem nyem...

Wednesday 14 June 2017

Jilbab Kristen Arab Lebanon

Ditulis Oleh : SUMANTO AL QURTUBY
Sumber : https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157442204770523

Saya sering mengelus dada atau geleng-geleng kepala memperhatikan tingkah-polah lucu-lucu sejumlah kaum Muslim dan Muslimah di Indonesia, khususnya mereka yang semangat keislamannya terlalu tinggi tetapi tidak diiringi dengan wawasan sejarah-sosial-kultural-keagamaan yang memadai.
Karena "besar pasak daripada tiang", akibatnya sering kali "menggelikan" alias "unyu-unyu" kalau berkomentar. Misalnya, mereka bilang kalau hijab itu hanyalah "properti Islam" saja karena itu jika ada non-Muslimah yang berhijab dianggap sebagai pelecehan terhadap Islam, penghinaan terhadap ajaran Al-Qur'an, atau penghinaan terhadap kaum Muslim. Wong pakai hijab kok dianggap menghina itu rumusnya apa?
Bukan hanya itu, berhijab juga dipandang sebagai simbol "hijrah keimanan" dari non-Muslimah menjadi Muslimah, dari "kebengkokan" menuju "kelurusan". Mereka juga bialng kaum perempuan, khususnya Muslimah, kalau sudah berhijab berarti sudah mendapatkan hidayah atau petunjuk dari Tuhan. Perempuan berhijab pulalah, kata mereka, kelak yang akan merasakan aroma surga yang aduhai rasanya.
Begini ya, soal hidayah, keimanan, keislaman, apalagi surga itu tidak ada urusannya dengan selembar kain bernama hijab atau apapun namanya. Hijab, seperti yang sudah sering saya sampaikan, juga bukan melulu milik Islam. Jauh sebelum Islam lahir di Jazirah Arab, umat Yahudi dan Kristen sudah mempraktekkan hijab, sebuah tradisi yang masih dipraktekkan hingga kini oleh sebagian saudara-saudara seiman kita dari Kristen dan Yahudi. Jadi tidak perlu "main klaim" kalau hijab itu milik Islam, nanti malah malu-maluin kelihatan kalau otaknya masih orisinal.
Di bawah ini hanyalah contoh kecil sekelompok perempuan Kristen Maronite di Lebanon, yang seperti kaum Muslimah, juga berhijab. Seperti di Indonesia, tidak semua perempuan Kristen di Lebanon berhijab. Tetapi tidak seperti Muslimah Indonesia yang minim Bahasa Arab, para perempuan Kristen Lebanon berbahasa Arab karena memang itu bahasa nenek-moyang mereka. Bahasa Arab mereka tentu saja jauh lebih fasih ketimbang kaum Muslimah Indonesia yang suka berabi-umi atau berakhi-ukhti itu.
Di Temur Tengah, selain Mesir dan Suriah, Lebanon adalah kawasan yang cukup padat penduduk Kristennya. Sekitar 40% penduduk Lebanon adalah Kristen (mayoritas pengikut Kristen Maronite, kemudian Katolik Roma, terus Kristen Ortodoks Timur, dlsb). Karena itu di Lebanon, banyak tokoh Kristen menempati posisi penting dan strategis di struktur pemerintah, parlemen, maupun jabatan publik lain, berdampingan dengan Syiah dan Sunni.
Sejarah Kristen di Lebanon sudah sangat tua, setua lahirnya agama Kristen sendiri. Konon Yesus pernah singgah di kota Tyre (Sur atau Sour) di bagian selatan Lebanon, dimana Dia menyembuhkan sejumlah anak-anak Canaan. Kemudian, Santo Peter juga konon pernah berdakwah di kawasan ini. Pendakwah paling melegenda tentu saja adalah Santo Maron di abad ke-4 M, seorang pendeta Kristen Suriah, yang menyebarkan iman Kristen di Lebanon. Nama Kristen Maronite yang menjadi mayoritas umat Kristen di Lebanon saat ini adalah diambil dari namanya.
Jadi, sudah paham belum bapak-ibu, sodare-sodare...

Perang Melawan ISIS dan Terorisme

Penulis : PROF. SUMANTO AL QURTUBY Sumber :  http://news.liputan6.com/read/3004571/perang-melawan-isis-dan-terorisme?source=search Liput...